Jumat, 08 Januari 2010

Kamis, 07 Januari 2010

Pemilihan Kolam Pengendap Di Daerah Tambang

Oleh :Harry Christanto,Syahirul Alim

PERHAPI PT. Kaltim Prima Coal / Kutai Timur

Sengata - Kalimantan Timur

 

 Pendahuluan

Setiap kegiatan penambangan pasti menghasilkan limbah, baik berupa limbah cair, padat, ataupun gas/udara. Khusus untuk limbah cair, porsi terbesar berasal dari aktivitas pembukaan lahan dan material buangan (waste) yang mudah tererosi sehingga mempengaruhi baku mutu air limpasan yang keluar dari area penambangan dan menuju ke badan sungai atau meresap menjadi air tanah.

            Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 113 tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan Batubara, disebutkan bahwa air limbah yang berasal dari kegiatan penambangan dan air limbah yang berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian harus dikelola dengan pengendapan sebelum dibuang ke air permukaan dan air yang dibuang harus memenuhi baku mutu yang ditetapkan (Tabel 1).

 

Parameter

Satuan

Kadar Maksimum

PH

 

6 – 9

Residu Tersuspensi

Mg/l

400

Besi (Fe) Total

Mg/l

7

Mangan (Mn) Total

Mg/l

4

Tabel 1. Baku Mutu Air Limbah Kegiatan Penambangan Batubara

 

            Sehingga di setiap kegiatan penambangan (batubara) harus menyediakan kolam-kolam pengendapan untuk memastikan bahwa limbah cair yang keluar ke badan air akibat dari proses penambangan akan memenuhi baku mutu yang disyaratkan oleh pemerintah tersebut diatas.

 

Rencana umum pengelolaan air dan limbah cair di tambang

            Setiap penambangan pasti berhadapan dengan masalah air, baik air limpasan permukaan, air tanah, ataupun air limbah hasil proses penambangan. Supaya proses penambangan bisa berjalan bagus sesuai dengan prinsip Good Mining Practice, maka suatu rencana pengelolaan air harus dibuat. Dalam rencana pengelolaan air (water management plan) harus dikembangkan dengan mempertimbangkan curah hujan rata-rata, luas area tangkapan air, bangunan-bangunan air yang harus dibuat termasuk kolam pengendapan yang berfungsi sebagai kontrol erosi, sedimentasi, dan bahan pencemar lainnya seperti logam berat sebelum keluar ke badan sungai umum.

 

Sedimentasi

            Sedimentasi adalah proses pemisahan partikel-partikel melayang di dalam air oleh pengaruh gaya gravitasi atau gaya berat partikel. Berdasarkan tingkat konsentrasi partikel di dalam air limbah dan kecenderungan partikel untuk saling berinteraksi, maka proses sedimentasi dapat digolongkan dalam 4 tipe, yaitu:

Ø      Tipe 1: pengendapan partikel mandiri (discrete particle settling)

Ø      Tipe 2: pengendapan partikel floc (flocculant settling)

Ø      Tipe 3: pengendapan secara perintangan (hindered settling)

Ø      Tipe 4: pengendapan secara pemampatan (compression settling)

 

Tipe-tipe proses sedimentasi diatas akan menjadi pertimbangan untuk menentukan jenis-jenis kolam pengendapannya.

 

Kolam Pengendap

Kolam pengendap (sediment pond) adalah tempat untuk menangkap runoff dan menahan air ketika tanah dan kotoran lain dalam air mengendap menjadi sedimen. Kebanyakan kolam pengendap diperlukan karena air keluaran yang mengandung banyak Total Suspended Solid atau residu tersuspensi yang melampaui baku mutu kualitas keluaran air. Secara garis besar kolam pengendap bisa dibuat dengan membangun tanggul penahan atau menggali lubang untuk tampungan air atau sedimen. Kolam pengendap berbeda dengan sebuah dam dimana bertujuan untuk menahan air hanya selama untuk mengendapkan material tersuspensi, setelah air jernih, air tersebut bisa dialirkan. Kolam pengendap juga harus dipelihara, dimana bila sediment telah mengendap dan mencapai kadar air tertentu dimana bisa dibuang, maka pembuangan atau pengerukan kolam dilakukan. Kolam pengendap selain sebagai tempat untuk mengendapkan material tersuspensi, di area tambang juga berfungsi sebagai penampungan air limbah yang mengandung logam berat (Fe dan Mn) dan air yang mengandung asam (pH < 6), dimana di dalam tampungan tersebut dilakukan perlakuan penetralan air limbah atau tercemar sehingga bisa menjadi normal sesuai ambang batas baku mutu yang disyaratkan oleh Pemerintah. Di kolam pengendap tersebut bisa dilakukan treatment berupa pengapuran, pemberian alum, aerasi, dan perlakuan-perlakuan lainnya sesuai dengan kondisi kandungan limbahnya.

 

Jenis-jenis kolam pengendap berdasarkan partikel yang diendapkan

Kecepatan pengendapan dari partikel menjadi pertimbangan dalam membuat desain kolam pengendap. Kecepatan pengendapan dipengaruhi oleh jenis partikel seperti dalam tipe pengendapan.

Ø      Partikel mandiri (discrete particle) adalah partikel yang tidak mengalami perubahan bentuk, ukuran, maupun berat selama pertikel tersebut mengendap. Proses pengendapan partikel berlangsung semata-mata akibat pengaruh gaya partikel atau berat sendiri partikel. Pengendapan akan berlangsung sempurna apabila aliran dalam keadaan tenang (aliran laminar). Akibat bertnya sendiri, partikel yang mempunyai rapat masa lebih besar dari rapat masa air akan bergerak vertical ke bawah. Gerakan partikel di dalam air yang tenang akan diperlambat oleh gaya hambatan akibat kekentalan air (drag force) sampai dicapai suatu keadaan dimana besar gaya hambatan setara dengan gaya berat efektif partikel di dalam air. Setelah itu gerakan partikel akan berlangsung secara konstan dan disebut kecepatan pengendapan atau terminal settling velocity. Kecepatan pengendapan bisa dihitung dengan hukum stoke (Peavy, 1986) berikut:

            dengan :            dp        = diameter partikel,

                                    µ          = angka kekentalan dinamis,

                                    ρs         = rapat masa partikel,

ρw       = rapat masa air,

g          = percepatan gravitasi bumi.

Untuk memperoleh hasil yang optimal, maka kolam pengendapan dirancang berdasarkan ukuran butir yang paling dominan. Apabila kecepatan pengandapan partikel tersebut vt , maka semua partikel yang mempunyai kecepatan pengendapan sama atau lebih besar dari vt akan diendapakan pada dasar kolam

 

Berdasarkan jenis partikel mandiri ini, maka kolam pengendap yang akan dibangun harus dirancang berdasarkan kecepatan pengendapan, sehingga panjang, luas, dan kedalaman kolam pengendap bisa ditentukan.

 

Ø      Partikel yang berada dalam larutan encer sering tidak berlaku sebagai partikel mandiri (discrete particle) tetapi sering membentuk gumpalan (flocculant particle) selama mengalami proses sedimentasi. Bersatunya beberapa partikel membentuk gumpalan akan memperbesar rapat masanya, sehingga akan mempercepat pengendapannya. Proses penggumpalan (flocculation) di dalam kolam pengendapan akan terjadi tergantung pada keadaan partikel untuk saling berikatan dan dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti laju pembebanan permukaan, kedalaman kolam, gradient kecepatan, konsentrasi partikel di dalam air dan range ukuran butir

 Berdasarkan tipe pertikel diatas, maka bisa dirancang kolam pengendap yang memberi kesempatan partikel encer tersebut untuk membentuk flok, dimana hal tersebut bisa dirancang dengan memperpanjang kolam pengendap dan/atau menambahkan peralatan yang bisa memberikan zat pencampur/reagent yang bisa mempercepat penggumpalan (coagulant), sehingga proses pengendapan bisa dipercepat.

 

Jenis-jenis kolam pengendap berdasarkan topografi area

            Berdasarkan topografi area yang akan dibangun kolam pengendap, secara garis besar ada dua jenis topografi yang mempengaruhi pemilihan jenis kolam pengendap;

Ø      Topografi dengan kontur yang tajam dan banyak creek atau sungai yang dipisahkan oleh bukit-bukit. Dengan topografi tersebut, maka pemilihan kolam pengendap adalah dengan membangun bendung yang membendung creek atau aliran sungai dengan menghubungkan dua bukit. Hal tersebut akan memberikan kapasitas tampungan yang maksimal dengan pekerjaan yang minimal.

Ø      Topografi dengan kontur yang sangat landai, cenderung flat, dan berada di area rendah (low land). Dengan topografi tersebut, maka pemilihan kolam pengendap adalah dengan melakukan penggalian kolam dimana kapasitas tampungan tidak bisa maksimal dengan rata-rata hanya 50% - 60% volume material yang digali.

Jenis-jenis kolam pengendap berdasarkan rencana pemeliharaan

            Kolam pengendap juga harus dipelihara supaya kolam pengendap tersebut berfungsi dengan optimal yang mempunyai umur layanan yang maksimal. Pada saat pemilihan jenis kolam pengendap, rencana pemeliharaan atau pengerukan kolam harus menjadi pertimbangan. Ada dua cara untuk memelihara kolam pengendap yang akan mempengaruhi rencana rancangan atau desain pembuatan kolam pengendap;

Ø      Pemeliharaan kolam pengendap dengan excavator, dimuat ke dalam truk, dan kemudian dibuang ke lokasi pembuangan sedimen. Rencana pemeliharaan ini akan membuat rancangan kolam pengendap tidak bisa terlalu besar dan harus bisa mengakomodasi tempat excavator dan truk beroperasi di kolam pengendap tersebut. Kolam pengendap cukup dibuat kecil tetapi dengan tipe meandering sehingga seperti sungai yang berkelok dengan harapan panjang kolam pengendap cukup memberi waktu bagi partikel untuk mengendap. Dengan kolam yang berukuran kecil tentunya umur kolam untuk penuh akan semakin pendek, sehingga ketersediaan alat pengeruk ini (excavator dan truk) menjadi hal yang penting. Hal ini menjadikan biaya pembuatan kolam menjadi kecil, tetapi biaya pemeliharaan menjadi sering frekuensinya.

 

Ø      Pemeliharaan kolam pengendap dengan kapal keruk atau dredge. Rencana pemeliharaan dengan menggunakan kapal keruk ini akan memberikan keleluasaan bagi pembuat rancangan kolam pengendap dengan merancangnya sebesar mungkin kapasitasnya sehingga umur kolam pengendap akan lebih lama. Efeknya adalah hal ini akan memberikan biaya besar untuk investasi kapal keruk, tetapi bila dalam satu area tersebut banyak kolam pengendapnya, maka investasi kapal keruk akan membuat program pengerukan berjalan ekonomis.

Jenis-jenis kolam pengendap berdasarkan umur rencana

            Kolam pengendap juga dirancang berdasarkan umur rencana kolam pengendap tersebut. Ada dua jenis umur rencana kolam yang mempengaruhi rancangan kolam pengendap;

Ø      Umur rencana pendek (kurang dari 2 tahun), kolam pengendap dengan umur pendek biasanya dibuat hanya sementara sampai sumber limbah atau sedimen tidak ada. Untuk daerah tambang kolam pengendap ini dibuat di area rencana reklamasi dimana selama proses pembentukan lahan, penyebaran tanah pucuk, pembuatan bangunan penahan erosi, dan vegetasi tumbuh maka erosi yang menghasilkan sedimen akan terjadi dan tentunya akan menimbulkan masalah kualitas air dan/atau kolam pengendap sementara ini diperlukan saat pembersihan lahan dalam proses pembuatan jalan, dimana sebelum jalan tersebut terbentuk dan dilapisi perkerasan maka erosi juga akan menghasilkan sedimentasi. Erosi dan sedimentasi akan berangsur berkurang dan hilang bila area reklamasi sudah berhasil atau jalan sudah terkonstruksi dan terlapisi dengan perkerasan sehingga kolam pengendap tersebut tidak akan berfungsi lagi. Selain itu, juga bisa kolam pengendap ini memang dirancang sampai kolam ini penuh dan setelah penuh akan dibuat kolam pengendap lainnya dibawahnya (series pond). Kolam pengendap ini cukup dirancang dengan kapasitas sesuai dengan laju sedimentasi selama umurnya saja, setelah itu kolam pengendap ini bisa di-decommissioning atau tidak difungsikan lagi.

Ø      Umur rencana panjang (lebih dari 2 tahun), kolam pengendap dengan umur panjang dibuat dengan rencana umur layanan lebih dari 2 tahun. Kolam pengendap ini di tambang dibuat untuk melayani sedimentasi dari erosi yang terjadi sepanjang umur tambang. Hal ini akan membuat rancangan kolam pengendap semaksimal mungkin kapasitasnya. Bila ada program pengerukan, maka kapasitas tampungan sediment bisa diperkecil, tetapi fungsi dari kolam pengendap akan terus menerus ada sampai tidak ada erosi dan sedimentasi.

 Kesimpulan

            Dari pembahasan mengenai jenis-jenis kolam pengendap berdasarkan beberapa aspek diatas, bisa dibuatkan sebuah matriks untuk pemilihan kolam pengendap berdasarkan jenis partikel yang diendapkan, kondisi lingkungan, jumlah anggaran, ketersediaan alat pemeliharaan, dan umur rancangan kolam pengendap.

 

No

Jenis Kolam Pengendap

Jenis Material Yang Diendapkan

Umur Rencana Kolam

Rencana Pemeliharaan dan Perkiraan Biayanya

Topografi area

Perkiraan biaya pembuatan kolam pengendap

1

Kolam Bendung

Partikel Mandiri

Umur Pendek dan Umur Panjang

Kapal Keruk ($1M biaya kapital + $6 tiap 1m3 sedimen yang dibuang)

Kontur sedang-tajam

$3 - $4 untuk tiap 1m3 kapasitas tampungan sedimen

2

Kolam Gali

Partikel Mandiri dan Partikel Flok

Umur Pendek dan Umur Panjang

Kapal Keruk ($1M biaya kapital + $6 tiap 1m3 sedimen yang dibuang) & Excavator ($15 - $25 untuk tiap 1m3 sedimen yang dibuang)

Kontur landai

$6 - $8 untuk tiap 1m3 kapasitas tampungan sedimen

3

Kolam Meander

Partikel Flok

Umur Pendek dan Umur Panjang

Excavator ($15 - $25 untuk tiap 1m3 sedimen yang dibuang)

Kontur landai

$5 - $7 untuk tiap 1m3 kapasitas tampungan sedimen

4

Kolam dan Alat Penetral Air

Partikel Mandiri dan Partikel Flok

Umur Pendek dan Umur Panjang

Kapal Keruk ($1M biaya kapital + $6 tiap 1m3 sedimen yang dibuang) & Excavator ($15 - $25 untuk tiap 1m3 sedimen yang dibuang)

Kontur sedang-tajam

$3 - $8 untuk tiap 1m3 kapasitas tampungan sediment + $700K untuk mesin penetral air (Neutramill)

Tabel 2. Matrix pemilihan kolam pengendap

 

Senin, 04 Januari 2010

Upaya Peningkatan Coal Recovery

Oleh : Didik Mardiono

PERHAPI PT. Kaltim Prima Coal / Kutai Timur

Sengata - Kalimantan Timur



Agar kegiatan operasional penambangan dapat berlangsung secara efisien dan biaya produksi dapat diturunkan perlu dilakukan perbaikan (improvement) disetiap kegiatan operasinya. Salah satu kegiatan atau proses yang perlu dilakukan perbaikan adalah proses penambangan batubara. Saat ini PT. KPC mempunyai area operasional penambangan di 5 pit yaitu Bendili, Pit J, FarNorth, Kenari, Kasuari. Karakter batubara dimasing-masing pit adalah multiple seam dengan ketebalan batubara yang ditambang mulai dari 50 cm hingga 6 meter dan kemiringan batubara yang berbeda-beda pula . Sementara untuk batubara dengan ketebalan dibawah 50 cm tidak ditambang.

Perhitungan Coal Recovery
Yang dimaksud coal recovery adalah suatu angka atau besaran yang menunjukkan seberapa efektif batubara yang ditambang. Angka coal recovery ditunjukkan dalam bentuk persentase (%), semakin besar angka coal recovery maka semakin efektif penambangan batubaranya. Ada beberapa metode perhitungan coal recovery yang biasa digunakan, yaitu:
1. In-situ model vs aktual data ditambang (Insitu Model – Actual Coal Mined)
Perhitungan Coal Recovery dgn metode ini dihitung dengan membandingkan In-situ Model (Geological Model) dengan batubara ditambang berdasarkan perhitungan truk (truck account / dispatch).

Saat ini permodelan untuk Seam dengan ketebalan <> 2m mempunyai perlakukan yang sama.
2. ROM Merge version 4.0.3 vs aktual data ditambang ( ROM Merge vs Actual Coal Mined)
Metode perhitungan ini hampir sama dengan perhitungan diatas, namun parameter perhitungan cadangan batubara yang berbeda. Perbedaannya adalah perhitungan cadangan ROM Merge mencakup lapisan tanah penutup (overburden) dengan ketebalan tertentu diatas insitu batubara yang dihitung sebagai dilusi.
3. Data Survey vs Actual data ditambang
Metode perhitungan ini adalah jumlah batubara berdasarkan pick up survey antara lapisan batubara atas (top coal) dan lapisan batubara bawah (coal floor) dibandingkan dengan aktual batubara ditambang berdasarkan perhitungan truk.
Perhitungan dengan membandingkan data survey dan Actual yang ditambang lebih representative untuk melihat Coal recovery dgn mengeliminir Variasi Geology Model.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Coal Recovery
Dalam perhitungan coal recovery diatas bahwa semakin besar batubara yang bisa ditambang maka akan semakin besar angka coal recovery nya. Namun demikian, banyak faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecil nya jumlah batubara tertambang.
Secara garis besar, faktor-faktor yang berpotensi hilangnya batubara bisa terjadi karena :
1. Pengukuran / Survey batubara
a. Kurangnya data lapisan batubara bagian atas (Coal roof) sebelum ditambang, hal ini disebabkan batubara sudah ditambang terlebih dahulu. Biasanya terjadi pada saat shift sore atau shift malam mengingat tim survey tidak ada ditempat, sementara batubara tersebut harus segera ditambang.
b. Kurangnya data lapisan batubara bagian bawah (coal floor), hal ini disebabkan karena lokasi yang sudah ditambang langsung disiapkan untuk lokasi pemboran dan peledakan.
2. Manusia
a. Operator yang kurang skill.
b. Kurangnya pengontrolan pit geologist terhadap coal roof dan coal floor.
c. Kurangnya pengontrolan pengawas pada proses expose batubara, pembersihan ujung batubara (coal edge), dan penambangannya.
d. Ketidakakuratan pemboran pada area Top of Coal.
3. Cuaca
Faktor yang dimaksud disini adalah hujan yang mengakibatkan tenggelamnya batubara sehingga tidak bisa ditambang.

4. Peralatan
a. Ketidaksediaan alat untuk membersihkan batubara.
b. Ketidaksesuaian dalam pemilihan alat gali saat pengupasan lapisan penutup batubara.
c. Ketidaksesuaian dalam pemilihan alat dalam pembersihan batubara tipis.
d. Ketidaksesuaian dalam pemilihan alat gali pada penambangan.
5. Perencanaan (Planning)
a. Ketidakakuratan geology model pada perhitungan cadangan batubara.
b. Desain loading point (ruang kerja) yang sempit.
c. Desain pola peledakan lapisan penutup dengan batubara yang terbuka terlalu dekat.
d. Desain pemboran dan peledakan pada area Top of Coal yang tidak tepat.
e. Tidak ada sistem drainase di area kerja (loading point), jalan.
f. Ketidak akuratan geology model pada pemasangan batas expose batubara

Selain berdasarkan faktor-faktor diatas, hilangnya batubara terutama yang tipis terjadi pada proses atau metode sebagai berikut:
1. Pemboran-peledakan (Drill and Blast)
Pada proses pemboran dan peledakan lapisan tanah penutup, potensi hilangnya batubara bisa terjadi pada saat area yang direncanakan untuk diledakkan adalah Top of Coal ( 3 -10 meter diatas lapisan batubara). Lapisan tanah penutup yang akan dibor dengan kedalaman 3 - 10 meter, namun aktual kedalaman pemboran bisa saja menembus batubara sehingga saat diledakkan maka batubara tersebut akan terbongkar. Ini bisa terjadi apabila persiapan area pemboran tidak rata, atau aktual contour batubara yang tidak sesuai dengan model perlapisan batubara ( aktual lebih landai).
2. Penggalian lapisan tanah penutup (Overburden removal)
Pada kegiatan penggalian dan pemuatan lapisan tanah penutup terutama diarea yang mendekati terbukanya batubara akan berpotensi hilangnya batubara. Hal ini dapat disebabkan oleh : alat gali yang digunakan kurang sesuai atau terlalu besar, tidak adanya limit penggalian untuk alat gali, pendorongan dengan dozer yang tidak sesuai saat membuka batubara.
3. Kondisi ruang kerja alat gali-muat (Loading point)
Kondisi ruang kerja sangat berpengaruh terhadap hilang atau tidaknya batubara yang dibuka maupun ditambang. Dengan kondisi ruang kerja yang sempit maka potensi hilangnya batubara sangat besar karena batubara akan tergali atau terinjak oleh truk saat melakukan kegiatan gali-muat lapisan tanah penutup.Ruang kerja yang tidak ada drainase juga sangat berpengaruh, karena akan menyebabkan ruang kerja berpotensi banjir terutama area-area yang sudah berada di level penggalian yang rendah.
4. Pembersihan Batubara (Clean up Coal)
Kegiatan ini dilakukan setelah batubara terkupas, namun belum bisa langsung ditambang. Karena pada saat pengupasan lapisan penutup batubara (exposed coal) masih menyisakan lapisan tanah penutup dengan ketebalan kira-kira 1 meter diatas lapisan batubara. Jika langsung dibersihkan pada saat proses penggalian lapisan tanah penutup dengan menggunakan dozer kapasitas besar (Komatsu D375; Cat D10) maka sangat berpotensi terkupasnya batubara dan bercampur dengan lapisan tanah penutup. Untuk itu pada proses ini diperlukan alat yang lebih kecil kapasitasnya.
Pembersihan batubara yang terlalu bersih juga akan menyebabkan coal recovery berkurang, karena dengan batubara yang terlalu bersih pada akhirnya akan mengurangi jumlah batubara yang ditambang. Pemilihan tipe alat pembersih batubara juga sangat mempengaruhi. Pada kondisi tertentu, misalnya contur batubara yang bergelombang, terjal maka akan ideal dan efektif jika menggunakan backhoe (PC 200) untuk kegiatan ini. Namun Untuk kondisi kontur batubara yang relatif landai, tidak bergelombang maka alat yang ideal adalah dozer kecil (D85ESS).
5. Penambangan Batubara (Coal Mined)
Pemilihan type alat gali untuk menambang batubara harus tepat agar potensi batubara hilang bisa dihindari. Jika menggunakan alat gali dengan tipe yang lebih besar (EX 2500) untuk menambang batubara tipis tentu tidak ideal. Karena akan banyak batubara yang tertinggal di lantai kerja (floor), dan apabila dikumpulkan dengan dozer kembali maka akan berpotensi bercampur dengan tanah. Selain itu pemuatan batubara yang melebihi kapasitas truk yang ditentukan (overload) akan terjadi tumpahan batubara diarea loading point maupun saat pengangkutannya.
Hal yang sering terjadi adalah batubara yang relatif datar dijadikan untuk jalan angkut truk batubara maupun truk pemindah tanah. Hal ini juga mengakibatkan batubara hilang akibat gesekan roda ban.
6. Pengangkutan Batubara menuju stockpile atau crusher (Coal Hauled)
Batubara berpotensi hilang pada kegiatan ini biasanya terjadi pada saat truk batubara yang bermuatan melewati jalur tanjakan, tikungan tajam, jalan bergelombang. Jalur tanjakan yang semakin curam maka batubara yang tumpah akan semakin banyak.
Upaya Peningkatan Coal Recovery
Berdasarkan faktor-faktor diatas, ada upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi hilangnya batubara sehingga dapat meningkatkan coal recovery. Upaya-upaya yang bisa dilakukan terutama pada keenam proses diatas yaitu :
1. Perhitungan cadangan batubara (Reserving)
Menghitung ulang cadangan batubara dengan menggunakan geology model yang baru, dengan dibatasi oleh area-area yang pernah ditambang (mined out). Density batubara yang dijadikan dalam parameter perhitungan cadangan harus sesuai atau mendekati angka density actual batubara yang terbuka.
2. Pemboran-peledakan (Drill and Blast)
a. Perlu dilakukan CSA ( Customer Supply Agreement ) untuk coal floor apabila batubara selesai ditambang dari superintendent batubara dengan superintendent pit selaku orang yang akan mempersiapkan lokasi pemboran dan peledakan. Tujuan dilakukan ini adalah untuk mengkonfirmasi bahwa lokasi tersebut benar-benar selesai ditambang dan tidak ada batubara yang tertinggal.
b. Persiapan lokasi pemboran harus disiapkan dalam keadaan rata, tidak bergelombang. Hal ini dilakukan agar pemboran bisa dilakukan dengan kedalaman yang sesuai dengan plan.
c. Apabila ada lubang bor yang terindikasi bahwa lapisan batubara tertembus, maka lubang tersebut perlu ditimbun kembali sampai lapisan batubara yang tertembus. Indikasi lapisan batubara tertembus saat pemboran bisa dilihat oleh cutting material hasil pemboran.
d. Pemboran yang mendekati area Top Of Coal terutama dengan kedalaman 3 – 10 meter perlu dilakukan secara hati-hati untuk menghindari tertembusnya lapisan batubara.
e. Peta kontur batubara perlu dicantumkan pada peta pemboran agar operator dan pengawas drill mengetahui kondisi area yang sedang dilakukan pemboran.
f. Apabila lokasi peledakan berdekatan dengan batubara yang sedang ditambang, maka saat persiapan peledakan, desain tie up peledakan harus didesain agar material yang diledakkan tidak bercampur dengan batubara. Jarak yang aman agar batubara tidak kotor adalah sekitar 30 meter dari lokasi peledakan.
3. Penggalian lapisan tanah penutup (Overburden removal)
a. Pemilihan alat gali yang sesuai : Apabila lokasinya sempit (kurang dari 25 meter), maka alat yang efektif adalah backhoe.
b. Pemilihan alat dorong yang sesuai : Saat proses pembukaan lapisan atas batubara terutama di batubara tipis, pemilihan tipe dozer yang tepat sangat diperlukan. Apabila batubara tipis sebaiknya digunakan dozer yang lebih kecil, karena apabila menggunakan dozer dengan kapasitas besar maka potensi batubara terdilusi atau tercampur dengan tanah penutup semakin besar.
c. Metode expose batubara dilakukan dengan meninggalkan overburden dengan ketinggian 0.5 – 1 meter diatas batubara. Tujuannya adalah agar batubara tidak banyak hilang akibat terinjak oleh track dozer.
d. Pemasangan limit penggalian (digging limit). Hal ini dilakukan untuk membatasi arah penggalian shovel atau backhoe agar tidak sampai ke edge coal sehingga batubara tidak tergali. Pemasangan limit penggalian ini perlu dipasang baik saat expose batubara maupun penggalian lapisan tanah penutup yang berdekatan dengan ujung batubara.
4. Kondisi ruang kerja alat gali-muat (Loading point)
a. Sistem drainase atau penirisan air yang memadai di loading point. Drainase ini bisa dibuat dengan cara pembuatan sump temporary untuk loading point yang sudah berada di level rendah dari suatu pit, membentuk kemiringan loading point (1-2%) agar loading point tidak tergenang air, membuat parit atau saluran air.
b. Loading point dibuat standar, agar batubara yang sudah terbuka (expose) tidak terinjak oleh truck karena sebagian batubara yang terbuka dijadikan jalan keluar masuk loading point.
c. Loading point yang berada di dinding akhir (final wall) perlu dilakukan perapian dinding (trimming wall) sesuai dengan rencana kemiringan yang sudah direkomendasikan agar batubara tidak tertinggal didinding.
5. Pembersihan Batubara (Clean up Coal)
Proses clean up batubara disini maksudnya adalah proses pembersihan sisa-sisa material yang masih menutupi batubara dimana ketebalan material ini berkisar 0.5 – 1 meter. Proses clean up untuk batubara tipis sebaiknya menggunakan alat yang kecil baik backhoe maupun dozer. Tujuannya agar batubara bisa lebih bersih dan tidak terlalu banyak batubara yang bercampur material. Pemilihan tipe alat dapat mempertimbangkan hal berikut :
a. Kemiringan batubara landai : Alat yang bisa digunakan adalah dozer kecil (D85ESS atau sejenisnya).
b. Kemiringan batubara curam : Alat yang efektif digunakan adalah backhoe kecil (PC 200 atau sejenisnya)
c. Batubara yang bergelombang : Alat yang bisa digunakan adalah backhoe kecil (PC 200 atau sejenisnya). Tidak disarankan untuk menggunakan dozer pada area seperti ini karena banyak batubara yang akan terkupas dan bercampur dengan overburden.
6. Penambangan Batubara (Coal Mined)
Upaya yang bisa dilakukan pada kegiatan penambangan batubara tipis adalah sebagai berikut :
a. Menggunakan alat gali dengan kapasitas bucket alat gali yang tidak terlalu besar. Tujuannya agar pada saat menggaruk batubara, material atau tanah dibagian bawah tidak tercampur.
b. Menambang batubara harus sejajar dengan ruang kerja (loading point) atau jalan. Jika lebih rendah maka berpotensi tergenang air jika hujan. Sementara jika lebih tinggi, maka berpotensi batubara hilang akibat tertutup material saat lokasi tersebut dijadikan area pemboran. Kondisi ini bisa terjadi pada saat terracing untuk persiapan lokasi pemboran.
c. Pengisian batubara ke truck batubara tidak melebihi kapasitas truck yang telah ditentukan. Jika melebihi kapasitas (overload) maka akan berpotensi batubara tumpah saat pengisian di loading point.
d. Biasanya batubara yang ditambang pasti meninggalkan sisa-sisa batubara, untuk itu perlu perapian kembali dengan dozer atau backhoe kecil (D85ESS, PC200 atau sejenisnya) dan dikumpulkan (pile) disuatu area dan kemudian ditambang kembali.
7. Pengangkutan Batubara menuju stockpile atau crusher (Coal Hauled)
Pada proses ini ada upaya dilakukan agar batubara tidak hilang adalah :
a. Membuat desain kemiringan jalan angkut sekitar 8% atau maksimum 10%, agar material atau batubara yang diangkut tidak tumpah disepanjang tanjakan.
b. Membuat desain tikungan yang tidak tajam dan sudut kemiringan tikungan tidak terbalik (superelevasi) agar batubara tidak tertumpah saat truck menikung.
c. Operator truck tidak mengemudi secara ugal-ugalan (sering tancap gas).
d. Pemasangan rambu-rambu give way atau stop tidak dilokasi yang miring.
e. Perbaikan kondisi jalan angkut secara rutin agar terhindar dari jalan yang bergelombang.
Hasil
 
Kesimpulan
Potensi hilangnya batubara atau berkurangnya coal recovery karena disebabkan beberapa faktor yaitu :
1. Pengukuran atau survey (Survey)
2. Manusia dalam hal ini operator maupun pengawas (Man)
3. Cuaca (Weather)
4. Peralatan (Equipment)
5. Perencanaan (Planning)
Potensi hilangnya batubara terjadi pada kegiatan-kegiatan dibawah ini :
1. Pemboran dan peledakan (Drill and Blast)
2. Penggalian overburden (Overburden removal)
3. Kondisi loading point
4. Pembersihan batubara (Clean up Coal)
5. Penambangan batubara (Coal mined)
6. Pengangkutan batubara (Coal haul)
Upaya-upaya yang dilakukan dalam mengurangi hilangna batubara yang pada akhirnya coal recovery bisa mencapai angka 95% atau lebih adalah :
1. Perhitungan cadangan batubara dengan geology model yang terbaru serta penentuan density batubara yang tepat.
2. Mempersiapkan lokasi pemboran dan peledakan yang ideal
3. Melakukan pemboran sesuai dengan target kedalaman yang sesuai, dan dilakukan inspeksi terhadap hasil pemboran untuk menghindari tertembusnya batubara
4. Penggalian lapisan tanah penutup menggunakan alat gali yang sesuai, batas penggalian terpasang.
5. Sistem drainase harus diperhatikan, perapian dinding akhir harus dilakukan.
6. Pembersihan batubara (clean up) menggunakan alat yang sesuai.
7. Penambangan batubara menggunakan alat gali yang sesuai, pengisian muatan diperhatikan, tidak ada batubara yang tertinggal saat menambang.
8. Desain jalan dengan kemiringan 8% max 10%, superelevasi ditikungan tidak terbalik.

Sabtu, 02 Januari 2010

Analisa Waktu Tunggu

ANALISA WAKTU TUNGGU DENGAN METODA SIMULASI

Oleh : Shauman Shaladin

Dalam kegiatan penambangan terbuka, truk bergerak dari shovel ke dumping atau crusher dan kembali. Kadang –kadang mereka berhenti untuk istirahat sejenak di waste dump atau secara teratur ke fuel station dan ke park up untuk shift change. Pada kondisi lain mereka harus menunggu di shovel atau waste dump dan antri di fuel station. Situasi ini disebabkan variasi dari waktu muat, waktu berjalan bermuatan, waktu buang di waste dump, waktu kembali dan berbagai interval waktu antara truk-truk tiba di area tersebut. Adanya perbaikan jalan dan pekerjaan sesuatu oleh alat lain disepanjang jalan tempuh juga ikut mempengaruhi variasi tersebut.
Waktu tunggu ini akan mengurangi kapasitas operasi . Hal ini akan meningkat jika adanya penambahan unit truk pada suatu sistim yang ada dan tidak ada perubahan yang dibuat pada sistim tersebut. Contoh, jika tidak ada perubahan pada jarak tempuh truk, penambahan unit tersebut akan menyebabkan produktifitas truk menurun dan produktifitas shovel meningkat.
Estimasi waktu tunggu ini merupakan hal yang penting dalam merancang dan memilih equipment untuk pit baru serta estimasi dari waktu tempuh truk baik bermuatan maupun kosong. Estimasi waktu tunggu merupakan subyek dari tulisan ini. Cara yang biasa dipakai adalah simulasi dengan random number dan teori tunggu (queueing theory).
Sistim simulasi didefinisikan sebagai teknik menyelesaikan masalah dengan mengikutsertatakan perubahan plus minus dari model dinamis suatu sistim. Model simulasi dapat berupa diskret, continous atau kombinasi keduanya dalam dimensi waktu dan nilai variable (Emshoff dan Sisson, 1970, Gordon, 1969).
Pendekatan simulasi dapat diterapkan pada system yang kompleks dimana cara analisa klasik sulit diterapkan. Tidak ada aturan yang menjelaskan bagaimana mensimulasikan suatu system.

MODEL MATEMATIS

Dalam kerangka analisa, keputusan obyektif diambil dengan mempertimbangan dua factor yaitu faktor yang dapat dikontrol dan faktor yang tidak dapat dikontrol. Kombinasi keduanya dapat didefinisikan sebagai berikut :

Z = F ( Xi , Yj untuk i = 1,2,3,…., M dan j = 1,2,3,..,N

Dimana :

Z = Pengukuran efektivitas
X = Variabel yang dapat dikontrol
Y = Variabel yang tidak dapat dikontrol
F = fungsi

Model simbolis ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan system untuk membuat keputusan. Pertama, kedua variable ( x dan y ) harus didefinisikan, Kedua, pengukuran efektifitas harus didefinisikan. Ketiga, skala pengukuran mesti dibuat. Keempat, hubungan antara 2 variabel harus didefinisikan secara fungsional. Kelima, solusi atau hubungan hasil fungsional harus diitegrasikan ke dalam suatu pengukuran skala efektifitas sebagai suatu nilai indikasi hasil dari keputusan sementara (R.V Ramani, 1989).

WAKTU SIKLUS TRUK

Waktu siklus truk adalah waktu yang dibutuhkan truk untuk melengkapi satu siklus produksi. Satu siklus tersebut meliputi manuver dan muat, berangkat bermuatan, manuver dan dumping, kembali kosong, tunggu dan tunda. Produktifitas truk berdasarkan rata-rata aktual muatan dan rata-rata waktu siklus.
Keserasian antara shovel dan truck penting dalam menghasilkan muatan dan waktu muat. Metoda manuver dan memuat mempengaruhi waktu manuver dan waktu muat. Kondisi jalan angkut meliputi jarak, kemiringan jalan, rolling resistance, belokan, batas kecepatan mempengaruhi waktu tempuh. Waktu angkut juga dapat dipengaruhi oleh kemampuan dan perilaku operator., perbaikan jalan dan perawatan truk. Kondisi lokasi dumping, luas area dumping akan mempengaruhi waktu putar dan waktu buang.
Sistim pengangkutan skala besar merupakan kegiatan yang sangat kompleks yang membutuhkan sinkronisasi dari alat muat dan alat angkut. Untuk menganalisanya, perlu menguji secara detil unsur-unsur dalam waktu siklus truk. Analisa ini berdasarkan studi lapangan dan pengalaman.
Sistim pengangkutan yang komplek biasanya dianalisis oleh simulasi secara computer. Simulasi dapat berupa simple deterministic atau sophisticated stochastic. Yang pertama menggunakan nilai konstanta untuk parameter sistim seperti payload dan parameter yng mengacu pada siklus truk. Yang kedua menggunakan teknik probabilistic, seperti metoda Monte Carlo, untuk nilai-nilai parameter yang bervariasi. Hal ini membutuhkan data lapangan yang intensif dari berbagai parameter.

MODEL MATEMATIS WAKTU SIKLUS

Waktu siklus untuk truk dapat digambarkan sebagai berikut (Suboleski, 1975) :


LCT = STL + LT + TL + STD + DT + TE + AD
Dimana:
LCT = cycle time untuk haul unit (menit)
STL = Spot time di loader (menit)
LT = Load time untuk haul unit, (menit)
TL = travel time (dengan muatan) (menit)
STD = spot time di dumping area (menit)
DT = dumping time (menit_
TE = travel time (tanpa muatan)
AD = rata-rata keterlambatan waktu pada haul cycle (menunggu di dumping area, menunggu di loader, atau memperlambat jalan di haul road)

Juga,
TCP
LT = LR
Dimana:

TCP = kapasitas haul unit, short tons
LR = rata-rata loading dari loader, st/min

Dengan sistem shovel
LT = TCP x CTL
BCP

Dimana:
BCP = kapasitas bucket loader, st (ditambahkan untuk faktor pengisian, dll)
CTL = cycle time loader, menit (ditambahkan untuk efisiensi loading)
[ ]* menyatakan secara tidak langsung, bahwa nilai dibulatkan ke atas.

TL = HD
SL

TE = HD
SE

Dimana:
HD = jarak pengakutan dari loader ke dumping area, ft
SL = kecepatan dari haul unit dengan muatan, ft/min
SE = kecepatan dari haul unit tanpa muatan, ft/min

Jumlah AD bisa ditentukan dari waktu yang terdapat dalam data. Bisa juga dikalkulasikan dari analisis sistem.
Diasumsikan bahwa tidak ada keterlambatan di dumping area atau di haul road, jumlah haul unit yang dibutuhkan untuk membuat loading unit tetap bekerja adalah seperti yang tercantum di bawah ini:

N = LCT
STL + LT

Dimana [ ]* menyatakan secara tidak langsung bahwa nilai dibulatkan ke atas.

Sebagai contoh : waktu siklus truk 16 min manuver dan loading (STL + LT) 3.3 min. Nilai N didapat dengan cara mebagi waktu siklus dengan waktu manuver dan loading (16/3.3) sebesar 4.8. untuk N sama dengan 4 (kurang truk, shovel menunggu) maka (4.8-4) x 3.3 sebesar 2.8 min shovel akan menunggu. Untuk N sama dengan 5 (lebih truk) maka (5-4.8) x 3.3 sebesar 0.66 min truk akan menunggu.
Dari contoh diatas dapat dilihat bahwa jika kondisi under truk, shovel akan memiliki waktu tunggu sedangkan jika kondisi kelebihan truk , truk akan menunggu.
Waktu tunggu dapat dihitung sebagai berikut :

W = (TL + STD + DT+ TE)- (N-1) (STL + LT)
Dimana :
N = jumlah truk

Total waiting = {(n-1)/N}{ TL + STD + DT+ TE)- (N-1) (STL + LT)}

Dengan meningkatnya N, nilai W akan meurun. Nilai negative menandai bahwa 1 unit truk telah melakukan 1 siklus dimana truk ke-2 masih dimuat shovel

METODA SIMULASI


Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa waktu tunggu dipengaruhi oleh parameter waktu muat, waktu siklus truk. Untuk memudahkan perlu dibuatkan langkah-langkah sebagai berikut (R.V Ramani, 1989) :

Langkah 1

LTi = waktu untuk memberi muatan pada truk oleh shovel ke-i
TAj = Waktu ketika truk ke-j berada jauh dari shovel.

Persamaan di bawah ini adalah untuk menghitung waktu yang berbeda-beda:

LT1 = LT + RN1 * 1
TA1 = LCT + RN3 * 2

Dimana
RNk merupakan nomor urutan secara acak.

Langkah 2
Jika terdapat 2 unit shovel Penghitungan loading time untuk shovel 1 (LT1 = LT1 + RN1 * 1,0) dan shovel 2 (LT2 = LT2 + RN2 * 1,0)

Langkah 3
Hitung sekumpulan “waktu ketika truk jauh dari shovel (TAi)” untuk masing-masing truk N truk yang ada (TAi = LCT + RN1 * 2,0)


Langkah 4
Atur dua daftar, satu untuk mencatat status shovel dan yang lain untuk mencatat status truk

Ditetapkan : M = Jumlah shovel di dalam system
N = Jumlah truk di dalam system.
ESTS1 = waktu pergantian shovel i yang terakhir , i=1,2,...M
ESTTj = Waktu pergantian truk j yang terakhir, j=1,2,…N
ST = Jangka waktu untuk simulasi (misalnya satu shift, satu bulan, dll)

Prosedur untuk melaksanakan simulasi seperti yang tercantum di bawah ini:

Langkah 4(a) Pilih truk yang memiliki waktu pergantian terakhir yang paling kecil (EST).
Contohnya truk ke-k dengan EST = ESTTk
Jika (ESSTk > ST), lanjutkan ke langkah 4(h).

Langkah 4(b) Pilih shovel yang memiliki waktu pergantian terakhir yang paling kecil (EST).
Contohnya shovel ke-g dengan EST =ESTSg

Langkah 4(c) Seandainya (ESTSg – ESTTk) = w
(1) jika <> 0, lanjutkan ke langkah 4 (e)
(3) jika w = 0, truk dapat dibawa ke shovel secepatnya. Lanjutkan ke langkah 4(f)

langkah 4(d) Shovel g menunggu truk. Waktu tunggu untuk shovel, ws
ws = ESTTk - ESTSg
Update status EST shovel g
ESTSg = ESTTk + ws
Lanjutkan ke langkah 4(f)

Langkah 4(e) Truk k menunggu shovel yang kosong. Waktu tunggu untuk truk wi adalah:
wt = ESTSg – ESTTk
Update status EST truk k
ESTTk = ESTTk + wt

Langkah 4(f) Menghitung waktu loading truk ke-k dengan shovel ke-g.
Misalnya Lgk
Update status EST shovel dan truk
ESTSg = ESTSg + Lgk
ESTTk = ESTTk + Lgk

Langkah 4(g) Menghitung waktu truk ke-k ketika berada jauh dari shovel. Misalnya tk
Update status EST untuk truk ke-k
ESTTk = ESTTk + Tk
Lanjutkan ke langkah 4(a)

Langkah 4(h) Waktu simulasi telah dilewati. Simpulkan:
(1) Produksi total, muatan truk atau ton
(2) Jumlah perjalanan/truk
(3) Waktu tunggu bagi tiap truk.
(4) Waktu tunggu bagi tiap shovel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam simulasi ini saya menggunakan dua jenis shovel dan dua jenis truk yang terdiri dari :
1 unit Liebhrerr 996
1 unit Hitachi 3500
6 unit truk Cat 785
6 unit truk Cat 789
Metoda simulasi berupa probabilitas random
durasi simulasi 240 menit.

a. Simulasi waktu tunggu dengan variasi waktu siklus truk

Hasil simulasi waktu tunggu shovel dan truk digambarkan dengan grafik dibawah ini :


Gambar 1
Grafik persen waiting dan queueing truck karena variasi waktu siklus truck

Dari grafik terlihat bahwa semakin besar waktu siklus truk, semakin besar pula waktu tunggu shovel dan akan semakin kecil waktu queueing truk.


Gambar 2
Hubungan antar produksi dan waktu tunggu shovel

Jika kondisi tetap dimana tidak ada penambahan jumlah truk maka akan terjadi variasi waktu tunggu shovel yang besar dan menurunkan hasil produksi. Ini berarti truk-truk yang dikirim ke shovel semakin berkurang.
Dari kedua gambar diatas dapat dilihat bahwa semakin besar waktu siklus dari truk maka semakin besar waktu tunggu shovel namun menyebabkan waktu tunggu truk semakin menurun. Kenaikan waktu tunggu shovel menyebabkan produksi menurun.

b. Simulasi waktu tunggu shovel dengan variasi jumlah truk dengan cycle 20 min


Gambar 3
Waktu tunggu shovel terhadap jumlah truk

Jika pada system dilakukan penambahan sejumlah unit truk tanpa adanya perubahan waktu tempuh maka system akan menerima kelebihan truk sehingga waktu tunggu untuk shovel akan menurun. Penurunan ini akan memberikan peningkatan produksi. Namun perlu dicatat bahwa biaya operasi truk merupakan biaya yang mahal di banding shovel sehingga perlu dibatasi jumlah unit truk agar produksi dapat mencapai hasil maksimum dengan biaya operasi yang rendah.

Gambar 4
Variasi persen waiting shovel dengan persen truk queueing

Dalam menentukan jumlah truk yang efektif perlu digabungkan variasi waktu tunggu shovel dan waktu tunggu truk ke dalam satu grafik. Titik potong dari variasi tersebut menunjukkan jumlah rata-rata truk yang cukup baik.
Secara teoritis jumlah truk yang dibutuhkan oleh shovel adalah waktu siklus truk dibagi waktu muat shovel ke truk.

N = Ct/LT

Jika kita masukkan nilai waktu siklus sebesar 20 min dan waktu muat 1.4 min maka di dapat 20/1.4 = 14.2 unit. Jumlah unit truk yang dibutuhkan berkisar antara 14 –15 unit truk (Gambar 4).


Walaupun terjadi kenaikan produksi karena penambahan truk namun akan menyebabkan produktifitas truk tersebut menjadi turun. Jika pada suatu operasi..truk-truk tersebut membutuhkan 3 kali siklus per jam maka dengan adanya penambahan unit, waktu siklus tersebut dapat ditutupi oleh siklus oleh truk lainnya. Ini berarti memindahkan waktu siklus truk terdahulu menjadi waktu tunggu truk.


Gambar 5
Variasi produktifitas dan produksi terhadap penambahan truk

Pada gambar 5 terlihat bahwa produktifitas truk secara simultan menurun seiring dengan bertambahnya jumlah truk. Produktifitas merupakan kemampuan truk untuk menyelesaikan sejumlah siklus produksi per satuan waktu.
Agar produksi dapat meningkat dan produktifitas truk tetap maka perlu diperhatikan hal-hal berikut :
1. Pertambahan waktu siklus truk dalam kondisi jumlah truk tetap dapat menurunkan produktifitas truk. Untuk itu perlu diperhatikan waktu tempuh truk maksimum yang dapat dibenarkan agar waktu tunggu shovel tidak meningkat. Pertambahan waktu siklus dapat dibenarkan jika dalam satu system terdapat pengurangan satu atau lebih alat gali karena adanya perawatan atau rusak secara tiba-tiba. Pengurangan waktu siklus dapat dilakukan jika dalam suatu operasi, truk-truk melakukan pengisian bahan bakar, pergantian operator, istirahat, jumlah truk berkurang karena rusak atau service.
2. Keserasian antara ukuran bucket alat gali dengan kapasitas angkut truk untuk mengurangi waktu muat dari shovel.
3. Bunching terjadi karena ketidakserasian kecepatan masing-masing truk. Penyebabnya dapat berupa ketidakseragaman muatan yang diangkut, perbedaan usia (jam kerja truk), pengalaman dan sikap operator, kondisi jalan angkut, adanya perbaikan jalan angkut, kondisi dumping yang jelek yang menyebabkan truk antri di tempat pembuangan.
4. Filosofi pemuatan, salah satu factor penting dalam mendisain area kerja shovel agar shovel dapat melakukan pemuatan secara double side loading. Ini berarti mengurangi waktu tunggu shovel saat truk mundur di area kerjanya. Terlebih jika sistim berada dalam kondisi kelebihan truk.
5. Schedule operasi
Pada permulaan shift , truk biasanya kosong dan mereka semua tiba di shovel pada waktu yang hampir bersamaan untuk di muat. Jika keserasian truk benar, truk terakhir selesai dimuat bersamaan dengan truk pertama tiba kembali ke shovel setelah membuang muatannya. Ini berarti akan ada sejumlah waktu tunggu truk sebelum truk tersebut dimuat. Kondisi akan normal setelah shovel memuat semua truk.
Pada pertengahan shift, shovel akan mengalami kenaikan waktu tunggu karena adanya pengurangan sejumlah unit truk karena refueling, istirahat, pray. Waktu siklus truk bertambah karena operator melakukan delay.
Pada akhir shift, Kondisi pada saat akhir shift akan terdapat sejumlah operator yang memperlambat kendaraan untuk mendapatkan waktu yang pas saat tiba di area shift change. Kondisi ini akan menyebabkan bunching di jalan angkut dan menambah waktu siklus truk. Keterlambatan ini sering terjadi di area pembuangan dimana operator menghentikan truknya untuk sekedar menunggu waktu akhir shift.

KESIMPULAN

Dari hal diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Metoda simulasi dapat membantu dalam melakukan analisa terhadap aktifitas penambangan truck dan shovel. Pemilihan alat gali dan alat angkut yang tepat dapat meningkatkan produktivitas dari masing-masing alat tersebut.